Metode pembekuan ASI dan pengolahan menjadi bubuk, atau yang dikenal dengan freeze-dried, telah menjadi topik pembicaraan di media sosial. Proses ini dilakukan untuk memperpanjang umur simpan ASI hingga 3 tahun dari semula 6 bulan di dalam freezer, dengan alasan efisiensi ruang penyimpanan dan kenyamanan ibu yang ingin terus memberikan ASI setelah masa cuti melahirkan.
Namun, Ketua Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), DR Dr Naomi Esthernita Fauzia Dewanto, Sp.A(K), mengingatkan bahwa proses freeze-drying dapat memengaruhi rasa dan kualitas ASI. Belum ada bukti yang cukup menunjukkan apakah ASI yang di freeze-dryed memiliki kandungan nutrisi yang tepat bagi bayi, termasuk zat aktif yang penting untuk kekebalan tubuh dan pertumbuhan bayi.
Proses ini melibatkan pembekuan ASI pada suhu ekstrim, kemudian mengubahnya menjadi bubuk menggunakan teknik sublimasi. Meskipun pembekuan ASI umum dilakukan secara rumahan, penelitian menunjukkan adanya perubahan fisik pada komponen utama ASI serta risiko kontaminasi saat pengolahan kembali menjadi cairan.
Metode freeze-drying juga tidak melibatkan proses pasteurisasi yang biasanya digunakan untuk membunuh bakteri berbahaya. Oleh karena itu, risiko kontaminasi tetap ada, terutama saat air ditambahkan pada bubuk ASI sebelum konsumsi.
Satgas ASI IDAI menyarankan untuk tidak gegabah dalam mengonsumsi atau mempromosikan freeze-dried ASI, terutama bagi bayi dengan kondisi medis tertentu. Metode ini masih dalam tahap penelitian dan belum mendapatkan rekomendasi resmi dari lembaga kesehatan seperti CDC, AAP, atau FDA.
Menyusui langsung dari payudara ibu tetap direkomendasikan, karena selain memberikan ASI juga membangun ikatan emosional antara ibu dan bayi. Freeze-dried ASI masih memerlukan kajian lebih lanjut sebelum dijadikan pilihan utama dalam pemberian nutrisi bagi bayi.