Kamis, 8 Agustus 2024 – 00:02 WIB
Labuan Bajo, VIVA – Kehadiran Starlink di industri telekomunikasi bukanlah ancaman bisnis Mitratel dalam memberikan layanan akses internet dan jaringan telekomunikasi kepada masyarakat.
Baca Juga :
Mitratel Kenalkan Flying Tower System, Ini Keunggulannya!
“Dia hanya sebagai layanan tambahan,” kata Direktur Investasi PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) Hendra Purnama kepada VIVA di KLM Lako Di’a, Labuan Bajo, NTT, Selasa malam (6/8/2024). Hendra menjelaskan Mitratel adalah perusahaan infrastruktur telekomunikasi terbesar dengan memiliki 38.000 tower untuk melayani akses internet dan jaringan telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia.
Baca Juga :
Mitratel Raih Laba Bersih Rp1 Triliun pada Kinerja Semester I-2024
Dengan menyewakan tower ke berbagai operator (Telkomsel, XL, Indosat, dll), konsumen mendapatkan layanan internet dengan mudah, fleksibel, dan murah.
“Masyarakat cukup dengan handphone bisa akses internet, dengan biaya sebulan sekitar Rp200 ribuan sudah bisa menggunakan internet,” jelas Hendra. Sementara, dengan menggunakan Starlink biaya lebih tinggi. Diperlukan biaya sekitar Rp700 ribuan per bulan, serta biaya modem dan perangkatnya hingga mencapai Rp7 jutaan. Meskipun begitu, kehadiran Starlink cocok untuk menjangkau wilayah-wilayah yang tidak tercover oleh tower.
“Dia membantu untuk wilayah tersebut karena mereka menggunakan satelit, masyarakat tidak perlu berlama-lama menunggu tower,” jelas Hendra. Namun, menurut Hendra, itu tidak berarti wilayah yang tidak terjangkau dan tidak memiliki sinyal tidak membutuhkan tower.
“Ini bisa terjadi karena mungkin belum ada pasar atau masih sedikit, sehingga belum dibangun tower. Selain itu, pembangunan tower bisa terlalu mahal bagi perusahaan jika tidak memberikan manfaat. Oleh karena itu, solusinya bisa dengan teknologi baru seperti Flying Tower System (FTS) yang ditawarkan oleh Mitratel,” ujarnya.
Seperti yang diketahui, belakangan ini, Flying Tower System ini menjadi populer dengan sebutan BTS Langit, BTS Terbang. Namun, menurut Hendra, istilah yang lebih tepat untuk teknologi telekomunikasi ini adalah ‘tower terbang’.
“Ini bukan BTS yang terbang, BTS tidak berada di situ dan BTS itu berat. Yang ada adalah sistem tower terbang, namun yang sesuai sebutannya adalah Flying Tower System,” tegas Hendra.
Untuk teknologi ini, Mitratel bekerja sama dengan AALTO, anak perusahaan Airbus. FTS ini adalah pesawat tanpa awak yang menggunakan energi matahari dan menggunakan teknologi Zephyr High Altitude Platform Station (HAPS).
Dengan kehadiran teknologi HAPS ini justru akan mengancam Starlink, bukan sebaliknya. “Ini justru mengancam Starlink, kita akan menggantikan Starlink,” jelas Hendra. Teknologi HAPS menerbangkan pesawat pada ketinggian 20-50 Km, sedangkan Starlink berada pada ketinggian 500 hingga 2000 Km. Karena posisinya yang lebih dekat, HAPS memiliki kecepatan yang lebih tinggi dan delay yang lebih rendah sekitar 5-10 detik daripada Starlink.
Selain itu, menurut Hendra, HAPS tidak hanya untuk coverage data, tetapi juga dapat dilengkapi dengan kamera dan sensor. Misalnya, di daerah banjir, HAPS dapat mengambil foto titik-titik banjir di suatu lokasi.
HAPS juga tidak memerlukan parabola, langsung ke handphone hanya dengan menggunakan antena. Hal ini membuat layanan internet bagi masyarakat atau pengguna menjadi lebih terjangkau. “Ini jauh lebih murah dibandingkan dengan Starlink,” jelasnya.