Bedanya dengan band-band Jogja lainnya, The Genk yang telah melepas “Klithih” sebagai nama belakangnya konsisten mengusung gaya musik Pantura streetpunk hingga saat ini. Meskipun bukan yang pertama, namun mereka mampu menangkap esensinya. Pengalaman di atas panggung pun terbukti dengan ciri musik yang terlihat lebih matang, mantap dalam penguasaan sound, dan kualitas rekaman yang bagus.
Album Glory Time dibuka dengan chant, seperti membawa suasana stadion ke gigs. The Genk kembali memperkenalkan asal mereka, dari pusat kota pelajar dengan profil klise, gambaran besar tentang transformasi kota kelahiran mereka yang kini penuh dengan masalah sosial tak terselesaikan oleh para pemangku kebijakan, kehidupan otomatis tanpa walikota, ini adalah hubungan cinta-benci dengan kota Jogjakarta. Lagu “Kotaku” penuh dengan kemarahan, mengingatkan pada lagu-lagu Rancid ketika Matt Freeman berada di posisi vokal.
“Kaum Pekerja” kembali menjadi lagu identitas, lagu tentang persatuan, keadaan nasib yang sama dari warga Jogja yang sekarang harus bekerja lebih keras, karena persaingan semakin brutal, tidak ada waktu untuk bersikap pilih-pilih dan mengeluh.
Saya pribadi sangat menyukai lagu “Hidup Ini”, awalnya mengingatkan pada Jakarta Pogo Punk awal 2000-an, rasanya seperti mendapat tip besar saat memesan dari ojol yang sepi, ditraktir es teh jumbo saat panas terik menjaga parkiran, takis boti gratis dari teman saat buntu dalam masalah pekerjaan. Kurang lebih seperti itu, lagu ini mengajak kita untuk lebih positif menyikapi kehidupan yang penuh dengan berbagai hal.
“Burning On” semakin melengkapi, bagi mereka yang merindukan Jakarta streetpunk, Jakarta pogo punk, saya merekomendasikan lagu ini, komposisi riff gitar, bassline, dan beat-nya bagus sekali, lead vokal yang enerjik, background vokal dan singalong yang kompak tanpa marah-marah, pasti seru di atas panggung.
“Glory Time”, lagu lama yang sudah dikenal ternyata direkam ulang, versi baru menjadi lebih dinamis. Re-make lagu lama selalu memiliki risiko bagi setiap band, namun bisa dikatakan The Genk berhasil!
Sebagai penutup, terdapat lagu akustik berjudul “Memori”. Saya sempat berpikir apakah lagu ini mungkin merupakan nostalgia dari personil The Genk ketika masih bermain di jalanan? Saya tidak tahu lagu ini terinspirasi oleh siapa, namun semakin sering didengar rasanya sangat cocok dinyanyikan saat kumpul-kumpul, entah di pos ronda, entah dalam lingkaran api unggun saat bersantai, mungkin seperti balada-baldada Iwan Fals dalam bungkus punk rock. (Imam Senoaji)