Penggunaan energi hijau, atau energi baru terbarukan (EBT), dianggap lebih tepat untuk kebutuhan industri daripada untuk konsumsi rumah tangga menurut Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Bahlil percaya bahwa energi hijau dapat menciptakan produk dengan harga yang lebih kompetitif di pasar global. Dalam pernyataannya di Jakarta, Bahlil menyebutkan bahwa energi hijau memerlukan biaya yang lebih tinggi daripada energi fosil. Oleh karena itu, jika energi hijau hanya digunakan untuk pemakaian rumah tangga, biaya produksi energi tersebut akan meningkat. Hal ini bisa menyebabkan over-cost yang dapat memberikan beban tambahan pada rakyat atau pemerintah dalam hal subsidi energi.
Bahlil juga menyatakan bahwa anggaran subsidi energi dapat dialokasikan untuk program-program lain yang menjadi fokus pemerintah. Dengan demikian, Bahlil menekankan bahwa pengembangan EBT sebaiknya difokuskan pada kebutuhan industri daripada untuk rumah tangga. Lebih lanjut, Bahlil menyadari bahwa penggunaan gas untuk menggantikan batu bara dalam pembangkit listrik akan meningkatkan harga gas. Perbedaan harga antara listrik dari batu bara dan gas bisa mencapai triliunan rupiah, membuat gas menjadi lebih mahal sekitar Rp 2.600 triliun dibandingkan batu bara.
Secara keseluruhan, Bahlil menekankan pentingnya memanfaatkan energi hijau untuk kebutuhan industri demi menciptakan produk yang mampu bersaing di pasar global. Dengan harga yang lebih kompetitif, penggunaan energi hijau bisa memberikan keunggulan bagi industri Indonesia dalam persaingan pasar internasional.