Opini menarik dari Yusuf Ibrahim, seorang Podcaster Penikmat Sepakbola, yang mempertanyakan mengapa kebanyakan pengamat dan komentator sepakbola di Indonesia bukanlah mantan pemain atau pelatih. Berdasarkan pengalaman pribadinya selama 20 tahun di ANTV, ia menjelaskan bahwa pada awal tahun 90-an ketersediaan pengamat pertandingan sepakbola masih terbatas. Namun, ketika ANTV secara aktif menyiarkan berbagai kompetisi sepakbola, banyak pemain dan pelatih aktif yang ikut serta sebagai pengamat dan komentator.
Kehadiran mantan pemain dan pelatih sebagai pengamat sepakbola berlanjut hingga era tahun 2000-an, terutama di stasiun televisi yang menyiarkan pertandingan langsung. Namun, masa depan mantan pemain dan pelatih sebagai pengamat dipertanyakan oleh sejumlah faktor, seperti kesempatan yang diberikan oleh media, masalah waktu dan jarak, kekuatan data, serta kemampuan dalam bernarasi dan berkomunikasi.
Di luar negeri, banyak pengamat dan komentator sepakbola yang bukan mantan pemain atau pelatih, tetapi memiliki keahlian dalam analisis, penelitian, dan komunikasi. Mereka dihormati karena kemampuan mereka, bahkan walaupun usia rata-rata mereka di atas 50 tahun. Sehingga, bagi para mantan pemain dan pelatih yang ingin menjadi pengamat atau komentator sepakbola, tantangannya adalah untuk bisa bersaing dalam hal kemampuan bernarasi, publik speaking, dan kekuatan data.
Dalam menghadapi kompleksitas menjadi pengamat atau komentator sepakbola, intinya adalah bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Keberhasilan seorang pengamat atau komentator tidak hanya ditentukan oleh latar belakang sebagai mantan pemain atau pelatih, namun juga oleh kemampuan, pengetahuan, dan keahlian dalam menyampaikan informasi. Karena pada akhirnya, penilaian terhadap seorang pengamat atau komentator akan datang dari publik itu sendiri.