Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering bertemu dengan orang yang selalu ingin terlihat unggul, baik melalui cerita tentang pencapaian pribadi, komentar meremehkan, atau sikap enggan menerima pendapat orang lain. Meskipun terlihat percaya diri, fenomena ini sebenarnya bisa menjadi tanda dari superiority complex, kondisi psikologis yang mungkin tidak disadari oleh penderitanya. Superiority complex pertama kali diperkenalkan oleh Alfred Adler dalam teori psikologi individunya. Menurut Adler, setiap orang berusaha mengatasi rasa inferioritas dengan cara yang berbeda. Beberapa orang belajar keterampilan dan meraih pencapaian, namun orang dengan perasaan inferioritas yang kuat sering merasa tidak cukup berhasil. Mereka melebih-lebihkan pencapaian mereka untuk merasa lebih baik.
Tidak ada diagnosis resmi untuk superiority complex dalam dunia kesehatan mental. Namun, konsep ini digunakan untuk menjelaskan mengapa beberapa orang cenderung melebih-lebihkan pencapaian dan kesuksesan mereka. Penyebab superiority complex belum sepenuhnya dipahami, namun pola asuh di masa kecil dan kondisi kesehatan mental dapat menjadi faktor utama. Anak-anak yang dimanjakan terlalu berlebihan sering merasa inferior saat berinteraksi dengan orang lain yang lebih mampu, sehingga mengembangkan superiority complex. Seseorang dengan masalah kesehatan mental juga mungkin merasa inferior dan mencoba mengimbangi hal tersebut dengan perilaku yang terkesan lebih unggul.
Tanda-tanda seseorang memiliki superiority complex antara lain adalah pernyataan sombong yang sulit dibuktikan, pandangan tinggi tentang diri sendiri, keengganan mendengarkan pendapat orang lain, dan lainnya. Superiority complex dapat mempengaruhi harga diri, hubungan, dan karier seseorang. Penting untuk memahami perbedaan antara superiority complex dan kepercayaan diri yang sehat untuk menjaga hubungan yang baik dan karier yang sukses.