Anak perempuan memiliki risiko lebih tinggi terkena lupus daripada anak laki-laki, menurut Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Alergi Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), DR Dr Reni Ghrahani Majangsari, SpA(K), MKes. Pada seminar daring ‘Lupus Pada Anak’, Reni mengatakan bahwa lupus mayoritas dialami oleh anak perempuan, terutama remaja berusia 11-12 tahun, dengan perbandingan sembilan banding satu antara perempuan dan laki-laki.
Salah satu faktor yang berperan besar dalam risiko lupus pada anak perempuan adalah hormon estrogen. Estrogen, hormon seks wanita yang diproduksi oleh ovarium, dapat memperberat faktor peradangan dan memicu peradangan pada anak-anak yang berpotensi menderita lupus.
Meskipun penyebab lupus masih belum sepenuhnya diketahui, kombinasi faktor hormon, lingkungan, dan genetik diduga berinteraksi sebagai penyebabnya. Meningkatnya angka pertumbuhan lupus sebelum menstruasi atau selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon seperti estrogen dan prolaktin dapat memicu lupus.
Gejala lupus pada anak meliputi demam yang hilang timbul, kelelahan tanpa sebab jelas, penurunan berat badan, kerontokan rambut, nyeri sendi dan otot, serta badan kaku di pagi hari. Lupus dapat memengaruhi sistem organ tubuh secara menyeluruh, seperti sistem saraf, paru-paru, dan sel-sel darah, serta dapat menyebabkan penurunan sel-sel darah merah, putih, dan trombosit.
Penyakit lupus juga dapat memperlambat pertumbuhan keremajaan. Lupus merupakan penyakit yang serius dan dapat menyerang seluruh organ tubuh. Oleh karena itu, penting untuk mengenali gejala lupus pada anak dan segera melakukan penanganan yang tepat.
Referensi: ANTARA News