Pada masa Kerajaan Majapahit, masyarakat Nusantara belum mengenal cabai merah atau cabai rawit seperti yang kita kenal saat ini. Mereka lebih mengandalkan rempah lokal seperti cabe jawa, lada hitam, jahe, dan andaliman sebagai sumber kepedasan. Cabe jawa, meskipun bukan bagian dari famili Solanaceae seperti cabai modern, memiliki karakter pedas yang hangat. Cabai modern sendiri berasal dari Amerika Tengah dan Selatan, dan pertama kali dibawa ke Eropa pada tahun 1493 oleh Christopher Columbus sebelum menyebar ke Asia. Cabe jawa, walaupun tergeser, masih memiliki potensi dalam industri jamu dan farmasi karena manfaat kesehatannya yang kaya.
Meskipun cabai jawa telah lama menjadi bumbu utama di dapur Nusantara, penggunaannya semakin berkurang seiring dengan popularitas cabai modern. Meski tidak sepedas cabai rawit, cabe jawa memberikan sensasi pedas yang lembut dan hangat, cocok untuk masakan berkuah. Meskipun demikian, cabe jawa masih dibudidayakan terbatas di daerah seperti Jawa, Bali, dan Sumatra, lebih dikaitkan dengan industri tradisional seperti jamu dan farmasi. Ekstrak cabe jawa memiliki nilai ekonomi yang signifikan dengan harga yang tinggi.
Peluang bagi cabe jawa masih terbuka luas, terutama dalam industri jamu, farmasi, dan makanan sehat. Namun, tantangan seperti kurangnya modal dan akses kredit, kurangnya inovasi dalam pengolahan, serta regenerasi petani harus diatasi. Strategi terintegrasi diperlukan untuk mengembangkan potensi cabe jawa, seperti meningkatkan akses modal, diversifikasi produk, penguatan pasar, dan edukasi bagi generasi muda. Dengan langkah-langkah ini, cabe jawa dapat kembali bersinar dan menjadi bagian dari warisan budaya Nusantara yang harus dilestarikan.