Dalam upaya reformasi sistem kepegawaian, pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk menghapus sistem seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mulai tahun 2025. Langkah ini diambil untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait manajemen tenaga honorer dan melibatkan kebijakan baru yang lebih terintegrasi dalam seleksi ASN. Selain itu, muncul pertanyaan apakah outsourcing bisa menjadi solusi pengganti untuk tenaga honorer dan PPPK.
Kebijakan penghapusan PPPK dilatarbelakangi oleh berbagai masalah terkait status, hak, dan jaminan kesejahteraan bagi tenaga kerja non-ASN. Pemerintah berencana menggantinya dengan sistem seleksi ASN yang lebih terintegrasi, dengan masa kontrak PPPK yang akan berlangsung hingga usia pensiun serta pemberian hak pensiun seperti PNS. Namun, tidak semua tenaga honorer akan dapat tertampung dalam formasi ASN yang terbatas, sehingga terbitlah wacana outsourcing sebagai alternatif.
Outsourcing dinilai efektif dalam hal efisiensi anggaran, fleksibilitas tenaga kerja, dan responsif terhadap kebutuhan teknis. Namun, beberapa pihak juga mencatat kekhawatiran terkait tidak menjamin kesejahteraan pekerja, rendahnya kepastian kerja, dan potensi penurunan kualitas layanan publik. Penghapusan jalur khusus PPPK diharapkan tidak akan berdampak pada PHK massal dan perlindungan tenaga honorer, namun perlu sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam implementasinya.
Sebagai kesimpulan, pemerintah perlu selektif dalam menentukan sektor yang layak untuk outsourcing, sementara standar kerja dalam sistem outsourcing harus ditingkatkan. Keberlanjutan kebijakan ini juga butuh evaluasi mendalam agar tidak mengurangi kualitas pelayanan publik. Selain itu, kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah juga menjadi kunci dalam menata ulang tenaga honorer dan mengimplementasikan kebijakan penghapusan PPPK ini.