Jumat, 17 November 2023 – 11:32 WIB
Jakarta – Indonesia menjadi salah satu dari 2 negara yang menjadi produsen besar industri otomotif di ASEAN selain Thailand. Bahkan, kapasitas Indonesia bahkan lebih besar dibandingkan sejumlah negara tetangga, seperti misalnya Malaysia atau Vietnam.
Namun, nyatanya para negara tetangga Indonesia itu juga tidak kalah getolnya dalam merayu para investor, untuk menanamkan modalnya di industri otomotif. Utamanya yakni pada industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), yang juga tengah gencar dipacu di negaranya masing-masing.
“Di ASEAN, kita merupakan salah satu dari 2 produsen besar otomotif selain Thailand, dibandingkan Vietnam, Malaysia, dan lain-lain,” kata Asisten Deputi Industri Maritim dan Transportasi Kemenko Marves, M. Firdausi Manti, dalam telekonferensi ‘Dekarbonisasi Sektor Transportasi Melalui Adopsi KBLBB Jawa Tengah’, Jumat, 17 November 2023.
“Nah, para negara tetangga ini juga sama-sama, sangat agresif untuk mengundang principal investor untuk membangun pabrik kendaraan listrik di negaranya masing-masing,” ujarnya.
Firdausi menambahkan, hal itu karena para negara tetangga Indonesia itu juga melihat bahwa ke depannya tren dunia otomotif akan mengarah ke hal seperti itu.
“Kita juga tidak boleh terlambat mengantisipasi hal ini. Karena Kalau tidak, akibatnya rugi sekali,” kata Firdausi.
Dia menjelaskan, kerugian secara ekonomi itu antara lain akibat adanya Free Trade Agreement (FTA) antara ASEAN, di mana bea masuk untuk impor kendaraan listrik adalah 0 (nol).
“Maka, ke depannya dikhawatirkan apabila kita terlambat membangun industri kendaraan listrik, bisa-bisa nanti kita dipenuhi oleh pasar mobil listrik impor dari Thailand karena bea masuknya juga 0,” ujar Firdausi.
Terlebih, apabila Indonesia bisa segera merealisasikan pengembangan ekosistem kendaraan listriknya di Tanah Air, maka akan ada sejumlah benefit yang dapat dikontribusikan dari ekosistem kendaraan listrik itu sendiri.
Misalnya yakni soal pengurangan emisi, selain juga dari sisi ketahanan energi dan lisensi. Terlebih, dalam hal ketahanan energi, sampai saat ini kita sama-sama mengetahui bahwa Indonesia adalah pengimpor minyak dan bukan sebagai pengekspor.
“Jadi kita mengeluarkan anggaran besar untuk mengimpor bahan bakar dan mensubsidinya. Bahkan tahun lalu saja, pemerintah mensubsidi sektor energi itu mencapai Rp 500 triliun lebih,” ujar Firdausi.
Karenanya, lanjut Firdausi, apabila pemerintah Indonesia berhasil mentransformasikan sektor transportasi ke zona elektrifikasi, maka akan sangat banyak benefit yang bisa diraih. Di mana impor serta subsidi minyaknya bisa berkurang, sehingga bisa dialihkan untuk semakin mendukung pengembangan ekosistem kendaraan listrik nasional.
“Pemerintah sendiri melakukan beberapa intervensi, misalnya melalui pengurangan-pengurangan pajak. Kemudian bantuan pemerintah untuk setiap pembelian kendaraan listrik roda dua. Di mana cukup hanya dengan satu NIK dan berusia 17 tahun, maka dia akan mendapatkan potongan sebanyak Rp 7.000.000. Untuk mobil listrik terdapat pengurangan pajak dari 11 persen menjadi 1 persen,” ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Dia menjelaskan, kerugian secara ekonomi itu antara lain akibat adanya Free Trade Agreement (FTA) antara ASEAN, di mana bea masuk untuk impor kendaraan listrik adalah 0 (nol).