Kajian terbaru dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyimpulkan bahwa jika pasal-pasal tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan disahkan, negara akan mengalami kerugian puluhan triliun rupiah. Sementara manfaat yang diharapkan dari peraturan tersebut belum tentu dapat dicapai.
Saat ini, Pemerintah tengah berusaha untuk mengesahkan RPP sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Namun, pasal-pasal tembakau di RPP tersebut dianggap dapat membahayakan Industri Hasil Tembakau (IHT) dalam negeri, serta sektor lain yang bergantung padanya.
Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, menyatakan bahwa berdasarkan kajian yang dilakukan oleh INDEF, pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan akan merugikan sektor Industri Hasil Tembakau serta sektor industri lain yang bergantung padanya. Pasal tembakau juga akan berdampak negatif terhadap penerimaan negara.
Menurut perhitungan INDEF, penerapan pasal tembakau pada RPP Kesehatan akan menyebabkan penurunan penerimaan perpajakan hingga Rp52,08 triliun. Kerugian ekonomi yang ditanggung oleh negara akibat pasal tembakau di RPP Kesehatan ini diperkirakan mencapai Rp103,08 triliun.
Selain dampak ekonomi, pasal-pasal tembakau juga akan berdampak terhadap tenaga kerja. Diperkirakan akan terjadi penurunan tenaga kerja hingga 10,08 persen di sektor industri tembakau dan penurunan tenaga kerja di perkebunan tembakau hingga 17,16 persen.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nusa Tenggara Barat (NTB), Sahminuddin, mengungkapkan bahwa PP Nomor 109 Tahun 2012 yang ditetapkan pada Desember oleh Presiden SBY telah merugikan para petani tembakau, dan jika RPP Kesehatan ini disahkan, Presiden Jokowi akan mengulanginya lagi.
Ketut Budiman, perwakilan dari Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), juga menekankan bahwa kehadiran pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan akan berdampak pada penyerapan cengkeh, karena kebutuhan rokok kretek hanya dapat terpenuhi dari produksi dalam negeri.
Meski dikejar target, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memastikan bahwa RPP Kesehatan masih dalam tahap pembahasan dan belum menemukan kesepakatan khususnya terkait pengamanan zat adiktif.
Sebagai stabilisator perekonomian negara, pemerintah seharusnya menghindari regulasi yang memberikan ‘efek kejut’ bagi ekosistem industri tembakau. Sektor industri tembakau merupakan salah satu sektor industri strategis yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional melalui cukai dan penyerapan tenaga kerja. Pasal-pasal tembakau juga perlu dipertimbangkan dengan hati-hati karena berimplikasi pada peredaran rokok ilegal dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Koordinator Tanaman Semusim Kementerian Pertanian, Haris Darmawan, juga menggarisbawahi bahwa pengaturan pada zat adiktif dapat dipisah dari RPP sehubungan dengan dampak yang ditimbulkan terhadap kesejahteraan petani tembakau. Haris juga menjelaskan bahwa pada dasarnya, rokok tidak bisa hilang dari peredaran meskipun petani dilarang menanam tembakau.