Kementerian Keuangan mencatat bahwa perhitungan utang pemerintah tidak dapat disamakan dengan membagi total utang dengan jumlah penduduk Indonesia. Metode ini tidak diakui dalam standar perhitungan utang internasional.
Direktur Surat Utang Negara, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Deni Ridwan menjelaskan bahwa dalam pengelolaan keuangan negara, tidak dikenal istilah utang dibagi per kepala. Perbandingan yang lazim digunakan adalah antara utang dengan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai ukuran ekonomi suatu negara dan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pajak.
Per 30 November 2023, utang pemerintah Indonesia mencapai Rp 8.041,01 triliun atau setara dengan 38,11 persen dari PDB. Angka ini masih berada di bawah ambang batas yang diperbolehkan oleh UU No. 1/2003 tentang Keuangan Negara, yakni 60 persen.
Deni juga menjelaskan bahwa rasio utang terhadap PDB cenderung menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 39,70 persen dari PDB. Terlebih lagi, jika dibandingkan dengan negara lain, utang Indonesia juga tergolong lebih rendah.
Dari total utang pemerintah, sebanyak 88,61 persen berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dan 11,39 persen dari pinjaman. Dari total SBN, sebesar 71,54 persen dipegang oleh investor dalam negeri dengan mata uang Rupiah.
Selanjutnya, Kementerian Keuangan memiliki strategi untuk menjaga agar pengelolaan utang Indonesia semakin baik, di antaranya dengan mengurangi volume utang, memprioritaskan utang domestik dalam bentuk Rupiah, dan menjaga agar tenor utang semakin panjang. Selain itu, mereka juga mendorong SBN ritel untuk individu agar masyarakat memiliki opsi untuk berinvestasi dengan imbal hasil yang baik dan aman, serta berkontribusi pada pembangunan.