Penerapan aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) menjadi suatu keharusan bagi perusahaan pertambangan. Bahkan, investasi pertambangan di Indonesia diperkirakan akan terhambat jika ESG tidak diimplementasikan dengan serius. ESG harus berkaitan erat dengan sektor pertambangan karena ke depannya tidak hanya berkaitan dengan dekarbonisasi sektor pertambangan, tetapi juga dekarbonisasi dunia.
Menurut Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia, Jalal, riset Price Waterhouse Cooper (PwC) dalam sektor pertambangan menyatakan bahwa perusahaan yang tidak serius dengan ESG akan memiliki performa finansial yang berbeda dengan perusahaan yang serius akan ESG. Hal tersebut diungkapkan saat “Seminar Nasional ESG: Adaptasi ESG melalui Dekarbonisasi dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati untuk Menyongsong Pertambangan Berkelanjutan” di Jakarta.
Jalal menegaskan bahwa perusahaan pertambangan harus serius dalam menerapkan ESG. Para pemimpin perusahaan pertambangan harus belajar ESG dengan benar. Seminar Nasional ESG yang diinisiasi oleh Agincourt Resources dihadiri sekitar 100 orang dari kalangan akademisi, mahasiswa, dan wartawan. Jalal mengungkapkan, kegiatan pertambangan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak membahayakan keanekaragaman hayati.
Ia juga menegaskan bahwa pelaporan standar yang paling populer, yaitu Global Reporting Initiative (GRI), sangat penting. Meskipun standar GRI sudah diterapkan oleh banyak perusahaan di Indonesia, namun jika ingin ESG mendapat pengakuan global, pelaporan tersebut perlu diperbaiki.
Jalal merekomendasikan kepada pelaku usaha di sektor pertambangan untuk mempelajari keuangan berkelanjutan, melakukan integrasi ESG, membuat penilaian materialitas yang serius, serta perlu memperhatikan isu dekarbonisasi dan keanekaragaman hayati dengan membuat pelaporan menggunakan standar internasional ICMM dan IRMA, serta mempelajari GRI mining.
Direktur SDGs Center Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Zuzy Anna, menekankan bahwa kebutuhan akan ESG merupakan suatu keharusan, terutama dalam pasar global. Investor lebih memilih untuk berinvestasi di perusahaan yang menerapkan ESG dan memenuhi kriteria ESG. Lembaga keuangan tidak ingin memberikan pinjaman atau modal kepada perusahaan yang tidak sesuai dengan standar ESG.
Manager Environmental PT Agincourt Recources, Mahmud Subagya, menjelaskan bahwa Agincourt telah menetapkan enam fokus keberlanjutan yang difokuskan pada target 2030. Salah satunya adalah menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 30 persen pada 2030.
Selain itu, Senior Biodiversity and Conservation Planning-RCCC UI/CTSS-IPB, Dr Rondang Siregar, mengatakan bahwa konservasi keanekaragaman hayati penting karena stabilitas ekosistem. Proyek pertambangan harus mengelola keanekaragaman hayati dengan cara menghormati kawasan tempat mereka beroperasi sambil terus menjaga lingkungan.
Dari seminar ini, dapat disimpulkan bahwa penerapan ESG menjadi sangat penting bagi perusahaan pertambangan di Indonesia. Hal ini tidak hanya untuk memenuhi standar internasional, tetapi juga untuk menjaga lingkungan dan keanekaragaman hayati demi keberlanjutan sektor pertambangan.