Rabu, 5 Juni 2024 – 00:18 WIB
Jakarta – Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, mengungkapkan besarnya keuntungan para pengusaha asal China yang berbisnis nikel di Indonesia, terutama di wilayah Morowali dan Konawe (Sulawesi) hingga Halmahera (Maluku).
“Contohnya nikel, daripada meningkatkan kesejahteraan daerah, yang diuntungkan justru penduduk China. Nikel ini terdapat di daerah seperti Morowali, Morowali Utara, Konawe, Halmahera, dan sebagainya,” ujar Faisal dalam telekonferensi di diskusi publik Indef, “Hari Lahir Pancasila; Ekonomi Sudah Adil Untuk Semua?”, Selasa, 4 Juni 2024.
Dia mencontohkan, jika nilai tambah nikel sebesar 100 dan setelah diolah menjadi feronikel menjadi 300, maka perusahaan China dapat meraih hampir 90 persen dari nilai tambah tersebut.
“Tapi dari nilai tambah tersebut, berapa yang masuk ke daerahnya? Hampir tidak ada. Nilai tambah dari 100 menjadi 300 itu, lebih dari 90 persen untuk China, sedangkan bagi pihak Indonesia kurang dari 10 persen,” katanya.
Tidak hanya itu, belum lagi subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia kepada smelter yang dioperasikan oleh perusahaan China, yang sudah mendapatkan fasilitas tax holiday dan subsidi. Perusahaan China ini membangun, memproduksi, dan mengoperasikan smelter yang menggunakan tenaga listrik dari batu bara, dimana harga batu baranya pun telah didiskon oleh Presiden Jokowi.
“Faisal menuturkan, harga batu bara pada tahun 2022 untuk ekspor sebesar US$345 per ton. Namun, Jokowi memberikan diskon hingga hanya US$70. Hal ini menyebabkan setiap batu bara yang digunakan oleh smelter tersebut mendapatkan subsidi sebesar US$275. Jumlah batu bara yang digunakan sangat besar sehingga menyebabkan kerugian bagi kita,” ujarnya.
Menurut Faisal Basri, hal ini belum termasuk dampak kerusakan lingkungan yang harus dihadapi di daerah-daerah penghasil nikel tersebut. Bahkan, dari kunjungannya ke Sulawesi beberapa waktu lalu, dia melihat sendiri kerusakan lingkungan yang harus ditanggung oleh masyarakat dan lingkungan di sana.
“Saya baru saja dari Sulawesi, masyarakatnya banyak yang menderita ISPA dan sebagainya. Eksternalitas negatif ini ditanggung oleh masyarakat, namun pemerintah Indonesia hanya diam,” kata Faisal.
“Hingga suku adat di sana bahkan sudah mempertimbangkan untuk berperang fisik. Mereka telah merasa dianiaya oleh smelter, dianiaya oleh pemerintah pusat, dan sebagainya,” tambahnya.