Kamis, 19 September 2024 – 21:00 WIB
Jakarta, VIVA – Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve alias The Fed, telah memotong suku bunga acuannya sebesar 50 basis points (bps) menjadi 4,75-5,0 persen. Pemotongan hingga 50 bps itu diketahui lebih besar dibandingkan ekspektasi pasar yang hanya sebanyak 25 bps.
Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal mengatakan, langkah pemotongan suku bunga oleh The Fed itu akan membawa dampak positif bagi Indonesia. “Karena ada potensi inflow asing ke sini, sebab dengan demikian pasti gap return-nya itu akan semakin membesar,” kata Fithra saat ditemui di Gedung Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis, 19 September 2024.
Meskipun demikian, Fithra mengatakan bahwa di sisi lain kita juga harus menyadari bahwa apabila The Fed terlalu agresif memangkas suku bunganya hingga 50 bps, maka para investor di AS akan menganggap bahwa sepertinya The Fed sudah mengetahui bahwa perekonomian AS memiliki potensi risiko hard landing.
Hal itu terlihat dari bursa saham di AS, yang langsung memerah usai pengumuman pemotongan suku bunga oleh The Fed. Sebab, para investor beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan menjadi terbatas, sehingga juga akan berdampak pada turunnya potensi keuntungan dari pasar modal mereka.
Jika sampai terjadi demikian, Fithra memperkirakan bahwa hal itu justru akan memiliki dampak turunan ke bursa saham Indonesia. Karena pasar modal di Tanah Air cenderung mirroring (pencerminan) dari apa yang dilakukan oleh bursa AS. “Misalnya pasar di AS lagi jual semua, bukan lagi buy, ya akhirnya di kita juga bisa terpengaruh. Padahal fondasinya kan berbeda, tapi secara psikologis bisa terganggu dan sangat terdampak,” kata Fithra.
Meskipun demikian, Fithra memperkirakan bahwa dalam jangka pendek, Indonesia bisa merasakan dampak positif dari kebijakan pemotongan suku bunga oleh The Fed tersebut. Misalnya seperti penguatan kurs Rupiah terhadap dolar AS, hingga potensi beralihnya modal dari AS ke negara-negara emerging market termasuk ke Indonesia. “Dimana kita bisa mendapatkan aliran modal yang cukup besar dari AS pada saat itu. Karena mereka melihat bahwa ketika nantinya potensi (perekonomian) di AS melambat, di emerging market masih oke nih, makanya mereka masuk,” kata Fithra. “Rupiah kita kuat sekarang, stock market juga menuju all time high terus. Dan yield dari bond market sekarang juga sedang turun terus. Berarti kan sekarang sebenarnya dalam konteks itu ya kita baik. Asalkan jangan sampai efek psikologis tadi itu lebih dominan,” ujarnya.