Rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) menuai pro-kontra dalam kalangan pedagang kecil, termasuk pedagang eceran, pedagang kelontong, dan pedagang kaki lima (PKL) yang menjadi bagian hilir dari industri tembakau. Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (Keris), Ali Mahsum Atmo, menyampaikan kekhawatiran terkait dampak negatif yang bisa dialami oleh para pedagang kecil akibat aturan tersebut.
Sejak diterapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, dampak terhadap omzet pedagang kecil sudah mulai terasa. Aturan tersebut melarang penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta larangan penjualan rokok secara eceran. Menurut Ali, jika penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga diterapkan, maka pedagang kecil, termasuk PKL, toko kelontong, dan tenant lainnya akan semakin tertekan.
Ali juga menambahkan bahwa kebijakan ini berpotensi menurunkan kesejahteraan sekitar 1 juta pedagang asongan dan PKL, serta 4,1 juta pedagang warung kelontong. Hal tersebut dianggap bertentangan dengan visi Pemerintahan Prabowo yang menekankan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga dinilai dapat merugikan ekonomi nasional, mengingat pendapatan cukai hasil tembakau (CHT) masih berperan penting dalam penerimaan negara.
Ali menegaskan perlunya keseimbangan antara regulasi terkait produk tembakau dan dukungan terhadap pelaku usaha kecil. Keberlangsungan dan pertumbuhan ekonomi pedagang kecil, baik PKL maupun pedagang kelontong, harus menjadi perhatian utama dalam menyusun kebijakan terkait industri tembakau.