Sepuluh juta anak muda Indonesia saat ini menghadapi kondisi pahit sebagai bagian dari kelompok NEET (Not in Education, Employment, or Training). NEET merujuk pada individu yang tidak sedang bersekolah, bekerja, atau mengikuti pelatihan, menunjukkan tantangan serius dalam dunia kerja dan pendidikan di Indonesia. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, 20,31% dari Gen Z Indonesia berusia 15-24 tahun masuk dalam kategori NEET. Bahkan, angka ini melonjak hingga 22,25% pada pertengahan tahun, setara dengan hampir 10 juta orang. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan masa depan Gen Z sebagai motor penggerak ekonomi dan pembangunan bangsa.
Indonesia sebelumnya mencatatkan angka NEET tertinggi di kawasan Asia Tenggara, sehingga fenomena ini bukanlah hal baru. Berdasarkan statistik dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Indonesia pada tahun 2021 memiliki angka NEET tertinggi di ASEAN. Secara geografis, Papua Tengah merupakan provinsi dengan jumlah NEET tertinggi (31,2%), sedangkan Bali mencatat angka NEET terendah di Indonesia (7,26%). Perbedaan signifikan ini mencerminkan ketimpangan ekonomi dan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan di berbagai daerah di Indonesia.
Fenomena NEET pertama kali diakui di Inggris pada tahun 1999 sebelum menyebar ke berbagai negara. Jepang mengenalnya sebagai “hikikomori,” di mana anak muda menarik diri dari kehidupan sosial dan ekonomi. Di Spanyol, generasi ini dikenal sebagai “generasi ni-ni,” yaitu anak muda yang tidak bekerja maupun belajar. Dengan angka NEET yang masih tinggi, pemerintah dan pihak terkait perlu merancang kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi persoalan ini. Program pelatihan kerja, pendidikan vokasi, dan akses lapangan pekerjaan yang lebih luas bisa menjadi solusi untuk menekan angka pengangguran di kalangan Gen Z Indonesia.