Keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang perubahan syarat usia calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2024 telah menimbulkan banyak kontroversi dan perdebatan di kalangan publik dan politisi. Perubahan ini mengharuskan calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun, sementara calon bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota minimal berusia 25 tahun pada saat pelantikan, tidak lagi pada saat penetapan sebagai pasangan calon. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan partisipasi generasi muda dalam politik, banyak yang meragukan keadilan dan kesetaraan yang dihasilkan oleh kebijakan ini.
Menurut teori konstitusi UUD 1945, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Perubahan syarat usia ini memunculkan pertanyaan moral dan legalitas, terutama dalam konteks kesetaraan kesempatan dalam politik. Pihak seperti Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Hur Hayati, mengkritik keputusan tersebut karena dianggap lebih menguntungkan politikus muda dengan dukungan politik kuat daripada menciptakan persaingan yang adil.
Spekulasi tentang kemungkinan keuntungan tertentu, seperti bagi politikus muda seperti Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo, juga mulai muncul. Masyarakat berharap agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak menindaklanjuti keputusan MA yang bertentangan dengan UU Pilkada, demi menjaga keadilan dan demokrasi. KPU harus mempertimbangkan semua aspek keputusan tersebut, baik dalam mendorong partisipasi generasi muda maupun dalam menjaga prinsip keadilan demokratis, agar tidak memperdalam kesenjangan politik dan memperkuat dinasti politik secara tidak adil.