Pada zaman yang kian cepat ini, tekanan untuk tetap produktif semakin meningkat. Banyak orang percaya bahwa semakin sibuk mereka, maka semakin sukses pula mereka. Namun, pola pikir seperti ini sebenarnya bisa membawa dampak buruk, memasuki zona toxic productivity di mana seseorang merasa harus terus bekerja tanpa henti, bahkan ketika tubuh dan pikirannya sudah kelelahan. Jika tidak diatasi, toxic productivity dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik, serta menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Toxic productivity merupakan kondisi di mana seseorang merasa harus selalu produktif tanpa henti, bahkan ketika mereka sudah kelelahan. Orang yang mengalami hal ini seringkali merasa bersalah jika tidak melakukan sesuatu yang dianggap “bermanfaat,” padahal pada kenyataannya mereka hanya butuh waktu untuk beristirahat. Dalam berbagai aspek kehidupan, toxic productivity sering kali muncul sebagai dorongan untuk terus bekerja tanpa henti demi mencapai hasil maksimal.
Ciri-ciri dari toxic productivity antara lain selalu merasa sibuk, sulit beristirahat, kehilangan keseimbangan hidup, takut tertinggal dari orang lain, dan tidak pernah puas dengan hasil yang telah dicapai. Penelitian dari Journal of Occupational Health Psychology menyatakan bahwa toxic productivity dapat menyebabkan kelelahan mental, peningkatan tingkat stres, dan penurunan kualitas hidup akibat kurangnya waktu istirahat yang cukup.
Untuk mengatasi toxic productivity, penting untuk sadari pola pikir yang tidak sehat, buat prioritas tugas dan kelola waktu dengan baik, luangkan waktu untuk relaksasi, batasi konsumsi media sosial, serta pertimbangkan bantuan profesional jika diperlukan. Membangun produktivitas yang sehat berarti memperhatikan keseimbangan hidup, karena terus bekerja tanpa henti tidak selalu mengarah pada kesuksesan. Dengan mengenali tanda-tanda toxic productivity dan menerapkan strategi yang tepat, kita dapat tetap produktif tanpa mengorbankan kesejahteraan diri sendiri.