Ketupat, makanan khas Indonesia yang terbuat dari beras dan dikukus dalam anyaman daun kelapa muda atau janur, telah lama menjadi simbol perayaan Idul Fitri. Selain sebagai hidangan lezat, ketupat juga memiliki makna filosofis dan sejarah yang dalam. Ketupat telah dikenal sejak abad ke-15 di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, dan menjadi bagian dari tradisi Lebaran seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara. Sunan Kalijaga, seorang anggota Wali Songo, memainkan peran penting dalam memperkenalkan ketupat sebagai simbol hari raya Islam. Penggunaan janur sebagai pembungkus ketupat memiliki makna tersendiri karena daun kelapa muda banyak ditemukan di wilayah pesisir, khususnya di Jawa.
Sejarawan Agus Sunyoto mengungkapkan bahwa tradisi Lebaran Ketupat merupakan budaya asli Indonesia yang berakar dari ajaran Islam. Tradisi ini berasal dari hadis yang menyatakan bahwa siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dan melanjutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka akan mendapatkan pahala seperti berpuasa setahun penuh. Tradisi ini mencerminkan makna kesempurnaan dalam menjalankan ibadah puasa. Selain itu, dalam tradisi Jawa, ketupat juga memiliki makna simbolis yang melambangkan introspeksi, saling memaafkan, dan menjaga kesucian hati.
Tradisi ketupat juga memiliki aspek sosial yang kuat, di mana masyarakat saling bertukar ketupat setelah Idul Fitri sebagai bentuk silaturahmi dan saling memaafkan. Tradisi “kupatan” yang dilaksanakan tujuh hari setelah Idul Fitri menekankan pentingnya hubungan harmonis antar sesama. Dengan demikian, ketupat bukan hanya sebagai hidangan lezat saat perayaan Idul Fitri, tetapi juga sebagai simbol penting yang mengingatkan akan nilai-nilai kebersamaan, kerukunan, dan kesucian hati dalam menjalani kehidupan.