Setiap tahun menjelang Hari Raya Nyepi, masyarakat Bali melaksanakan tradisi unik yang disebut pawai ogoh-ogoh. Dalam tradisi ini, boneka raksasa dengan wujud menyeramkan dipertontonkan untuk menggambarkan sifat-sifat negatif dalam kehidupan sehari-hari. Namun, pawai ogoh-ogoh tidak hanya sekadar atraksi wisata, tetapi juga memiliki makna filosofis yang dalam. Ritual ini merupakan simbol dari upaya umat Hindu di Bali untuk membersihkan diri dari energi negatif sebelum memasuki Hari Raya Nyepi.
Sejarah ogoh-ogoh memiliki akar yang panjang dan berkembang seiring waktu. Tradisi ini diyakini telah ada sejak zaman Dalem Balingkang. Pada awalnya, ogoh-ogoh digunakan dalam upacara Pitra Yadnya sebagai simbol penghormatan kepada roh leluhur umat Hindu yang telah meninggal. Beberapa pendapat juga mengaitkan kemunculan ogoh-ogoh dengan ritual di Desa Selat, Karangasem, atau dengan kisah Barong Landung, pasangan suami istri berwajah buruk dari Bali.
Ogoh-ogoh sendiri merupakan karya seni patung yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala, simbol kekuatan alam semesta yang melambangkan kekuatan jahat yang harus dinetralisir dalam ajaran Hindu Dharma. Pawai ogoh-ogoh yang dilangsungkan malam sebelum Nyepi bertujuan untuk menetralisir Bhuta Kala atau energi negatif. Setelah diarak dan ditampilkan dalam pawai, ogoh-ogoh biasanya dibakar sebagai simbol pemusnahan sifat-sifat buruk yang ada dalam diri manusia.
Tradisi ogoh-ogoh menjelang Hari Raya Nyepi di Bali menunjukkan interaksi antara unsur keagamaan dan seni. Melalui pawai ini, masyarakat Bali mengekspresikan kreativitas mereka dengan menciptakan ogoh-ogoh yang mewakili sifat-sifat negatif yang perlu dihilangkan. Selain sebagai bagian dari pelestarian warisan budaya, pawai ogoh-ogoh juga memungkinkan masyarakat Bali untuk melakukan introspeksi diri dan menekankan pentingnya mencapai keseimbangan dan harmoni sebelum memasuki Hari Raya Nyepi.