Dalam era digital saat ini, gejala seseorang terus-menerus memeriksa Instagram pribadinya telah semakin meningkat. Validasi sosial menjadi kebutuhan tersendiri di dalam kehidupan bermedia sosial. Media sosial bukan hanya alat komunikasi, tapi juga ruang konsumsi emosional. Platform seperti Instagram telah membentuk cara berinteraksi seseorang dan merubah pola pikir serta penilaian terhadap diri sendiri.
Fenomena craving digital di media sosial bukan hanya tentang validasi, tetapi juga ketergantungan terhadap perangkat digital. Hal ini dapat mempengaruhi suasana hati, image diri, dan bahkan harga diri seseorang. Dari segi neurologi, craving ini didasari oleh hormon kebahagiaan, yakni dopamin, yang memotivasi untuk mengulangi pengalaman menyenangkan. Mekanisme ini dimanfaatkan secara konsisten oleh media sosial untuk menarik perhatian pengguna.
Menyimak media sosial secara pasif melibatkan tarik-menarik antara dorongan bawah sadar dan kontrol diri. Pengguna terbawa oleh tekanan sosial, ekspektasi citra diri, dan standar kesuksesan yang tidak realistis. Isolasi sosial, ketidakpastian ekonomi global, dan lonjakan pengguna media sosial selama pandemi COVID-19 semakin memperluas kondisi kesehatan mental global. Untuk itu, penting untuk membangun kesadaran individu terhadap perilaku digital secara personal. Melakukan Digital Detox, membatasi waktu konsumsi media sosial, dan mengatur akun yang diikuti dapat membantu mengurangi keterlibatan impulsif.
Fenomena craving digital ini tidak hanya menjadi peluang bisnis bagi perusahaan teknologi, tetapi juga tanggung jawab etis. Algoritma dalam media sosial sengaja diciptakan untuk menahan perhatian pengguna, yang menandakan pentingnya “Ekonomi Perhatian” dalam model bisnis media sosial. Dengan meningkatkan literasi digital dan memahami cara mengatasi craving digital, diharapkan media sosial dapat menjadi ruang konstruktif yang mendukung kesejahteraan psikologis penggunanya.