Di era digital yang serba praktis, popularitas kembali kaset pita dan vinyl di Indonesia menjadi sebuah kejutan menarik. Mengapa format lama ini kembali diminati di tengah kemajuan teknologi? Beberapa faktor utama yang mendorong tren ini antara lain nostalgia, kualitas audio yang khas, nilai koleksi, serta dukungan terhadap musisi lokal. Bagi banyak orang, terutama generasi yang tumbuh di era 1970-an hingga 1990-an, kaset pita dan vinyl membangkitkan kenangan masa lalu. Mendengarkan musik melalui media ini memberikan sensasi berbeda dibandingkan dengan mendengarkan secara digital. Proses memasang kaset ke dalam tape deck atau meletakkan jarum pada piringan hitam menciptakan ritual tersendiri yang memperkaya pengalaman mendengarkan musik. Sensasi ini sulit ditiru oleh platform digital yang serba instan.
Vinyl dikenal memiliki karakter suara yang hangat, hal ini dapat memberikan nuansa berbeda yang tidak selalu dapat dirasakan melalui format digital. Beberapa audiophile berpendapat bahwa piringan hitam mampu menyajikan detail suara yang lebih alami dan dinamis. Hal ini membuat vinyl menjadi pilihan bagi mereka yang mencari kualitas audio yang lebih autentik dan memuaskan. Memiliki rilisan fisik memberikan kepuasan tersendiri bagi para kolektor. Desain sampul album, liner notes, dan elemen fisik lainnya menambah nilai estetika dan sentimental. Setiap rilisan fisik bisa menjadi barang koleksi yang unik dan bernilai, terutama jika diproduksi dalam jumlah terbatas atau edisi khusus. Hal ini mendorong para penggemar musik untuk berburu rilisan fisik sebagai bentuk apresiasi terhadap karya seni.
Membeli rilisan fisik juga dianggap sebagai bentuk dukungan langsung kepada musisi. Di tengah dominasi platform streaming yang seringkali memberikan royalti minim kepada artis, penjualan album fisik menjadi salah satu sumber pendapatan yang lebih signifikan bagi mereka. Hal ini mendorong para penggemar untuk membeli rilisan fisik sebagai bentuk apresiasi dan dukungan terhadap keberlangsungan karier musisi favorit mereka. Tren rilisan fisik masih hidup bahkan bangkit kembali, menurut David Tarigan, pengamat musik sekaligus A&R label musik demajors. Ia menyebut bahwa rilisan fisik menemukan momentum kebangkitannya di dunia, termasuk di Indonesia.
Industri musik Indonesia mulai beradaptasi dengan tren ini. Beberapa musisi dan label rekaman kembali merilis album dalam format kaset pita dan vinyl. Bahkan, setelah hampir 50 tahun, Indonesia kembali memiliki pabrik piringan hitam, yang menandakan keseriusan industri dalam memenuhi permintaan pasar akan rilisan fisik. Meskipun harga produksi yang relatif tinggi membuat harga jual rilisan fisik, terutama vinyl, cukup mahal dibandingkan dengan format digital, bagi para penggemar sejati, nilai yang didapatkan dari memiliki rilisan fisik dianggap sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Kembalinya popularitas kaset pita dan vinyl di Indonesia mencerminkan keinginan masyarakat untuk merasakan kembali pengalaman mendengarkan musik yang lebih intim dan bermakna di tengah arus digitalisasi. Keberadaan rilisan fisik membuktikan bahwa apresiasi terhadap musik tidak hanya sebatas pada suara, tetapi juga pada pengalaman dan nilai yang menyertainya.