Pemerintah dan DPR sering kali mengalihkan tanggung jawab terkait revisi undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi (MK), dengan mengatakan bahwa masyarakat dapat menggugat undang-undang yang kontroversial melalui judicial review. Ini mencerminkan ketidaksiapan dalam proses legislasi dan menempatkan beban terlalu besar pada MK. Pengesahan revisi UU TNI secara gegabah telah menimbulkan kekhawatiran, terutama terkait dominasi militer dalam ranah sipil.
Ketidakseriusan dalam proses legislasi yang diwarnai oleh minimnya partisipasi publik dan kualitas substansi undang-undang juga terlihat pada revisi UU lainnya seperti UU KPK, UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan UU IKN. Seharusnya, pemerintah dan DPR lebih memperhatikan kualitas proses legislatif dengan melibatkan masyarakat dalam skala yang lebih luas.
Mekanisme judicial review seharusnya tidak digunakan sebagai koreksi terhadap kelemahan dalam proses legislasi yang kurang demokratis. MK sebaiknya bukan tempat untuk membuang undang-undang yang bermasalah. Legislasi yang ideal harus melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna dan proses deliberatif yang transparan. Tanpa keterlibatan publik yang signifikan sejak awal penyusunan undang-undang, kemungkinan terjadinya regulasi yang bermasalah akan semakin tinggi.
Reformasi legislasi yang berorientasi pada partisipasi publik yang substansial harus menjadi prioritas. Mengandalkan judicial review sebagai satu-satunya solusi untuk memperbaiki undang-undang yang bermasalah mengabaikan tanggung jawab legislasi yang demokratis. Pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa proses pembentukan undang-undang dilakukan dengan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik yang signifikan. Dengan demikian, akan tercipta undang-undang yang lebih baik dan tidak terlalu tergantung pada koreksi terakhir dari MK.