Setiap perayaan Idul Adha, umat Islam di seluruh dunia melaksanakan ibadah kurban sebagai bentuk ketaatan dan kepedulian sosial. Ibadah ini menjadi momentum untuk mempererat solidaritas antarumat, terutama melalui pembagian daging kepada mereka yang membutuhkan. Selain dagingnya, kulit hewan kurban juga menyimpan potensi besar yang sering kali belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, jika diolah dengan baik, kulit tersebut dapat menjadi bahan baku berbagai produk bernilai ekonomi tinggi seperti kerajinan tangan, alas kaki, hingga produk fesyen.
Pemanfaatan kulit hewan kurban dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat dengan memberikan sumber pendapatan tambahan. Dengan mengolah kulit menjadi produk bernilai tambah, masyarakat dapat menciptakan lapangan kerja baru, terutama di sektor industri kreatif dan kerajinan tangan. Beberapa lembaga sosial juga menerima donasi kulit hewan kurban untuk kemudian dijual, dengan hasilnya disalurkan kepada yang membutuhkan tanpa ada unsur keuntungan pribadi. Selain itu, pengolahan kulit hewan kurban juga membantu mengurangi limbah organik yang berpotensi mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.
Dalam konteks hukum Islam, pemanfaatan kulit hewan kurban memiliki ketentuan tertentu. Mayoritas ulama, termasuk Mazhab Syafi’i, berpendapat bahwa menjual bagian dari hewan kurban, termasuk kulit, tidak diperbolehkan jika hasil penjualannya digunakan untuk kepentingan pribadi. Namun, jika hasil penjualan tersebut disedekahkan atau digunakan untuk kepentingan umum, seperti mendukung pelaksanaan ibadah kurban, maka diperbolehkan. Dengan demikian, kulit hewan kurban memiliki potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung perekonomian lokal, asal sesuai dengan prinsip syariah.