Selama unjuk rasa berlangsung di Jakarta, polisi sering dikerahkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Namun, dalam beberapa kasus, demonstrasi bisa berubah menjadi kerusuhan dan mengharuskan aparat keamanan untuk mengambil tindakan taktis untuk mengendalikan massa. Salah satu metode yang digunakan adalah penggunaan gas air mata, meriam air, dan peluru. Berbicara mengenai peluru, polisi tidak selalu menggunakan peluru tajam, tetapi juga peluru karet yang dianggap sebagai senjata non-mematikan.
Peluru karet terbuat dari bahan karet atau plastik keras yang ditembakkan seperti peluru tajam namun memiliki kecepatan yang lebih rendah karena sifat isolator panas dari karet tersebut. Peluru karet pertama kali digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat pada 1960-an dan kemudian dikembangkan oleh Inggris pada 1970-an. Meskipun sering digunakan dalam situasi pengendalian kerusuhan, penggunaan peluru karet tetap memiliki risiko serius seperti luka parah atau bahkan kematian.
Berbeda dengan peluru karet, peluru tajam terbuat dari logam seperti kuningan dan memiliki daya penetrasi yang kuat, terutama jika mengenai organ vital. Dalam pengamanan unjuk rasa, polisi jarang menggunakan peluru tajam karena risiko besar yang dapat menimbulkan korban jiwa. Penjelasan di atas menjelaskan perbedaan antara peluru karet yang ditujukan untuk mengendalikan massa tanpa menyebabkan korban jiwa, dan peluru tajam yang merupakan amunisi mematikan digunakan dalam situasi darurat.
Dengan demikian, wajar jika polisi lebih memilih untuk menggunakan peluru karet daripada peluru tajam untuk mengamankan unjuk rasa demi mengurangi risiko korban jiwa. Peluru karet memang memiliki potensi untuk menyebabkan cedera serius, tetapi jauh lebih aman dibandingkan dengan penggunaan peluru tajam yang memiliki risiko fatalitas yang tinggi. Oleh karena itu, keputusan penggunaan amunisi oleh aparat harus didasarkan pada pertimbangan yang matang untuk memastikan keamanan dan ketertiban selama unjuk rasa.