Generasi muda di Jakarta sedang diramaikan dengan fenomena hustle culture, di mana kerja keras terus-menerus menjadi sorotan para ahli. Gaya hidup ini, yang vokus pada kerja, dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik kaum muda, terutama dengan media sosial sebagai pemicu utama. Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Indrayanti, menyoroti bagaimana postingan prestasi di media sosial mempengaruhi perbandingan diri dan mematikan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Hustle culture muncul dari budaya workaholic dan menekankan tekanan untuk selalu produktif, bahkan hingga rasa bersalah saat tidak sibuk. Hal ini semakin dipicu oleh gaya hidup modern yang cepat dan dorongan untuk kesuksesan instan, mengakibatkan para generasi muda merasa terus-menerus bergerak dan berprestasi, sering kali mengabaikan istirahat dan kehidupan pribadi. Dampak negatif dari hustle culture termasuk gangguan kesehatan mental dan fisik, perbandingan sosial yang tidak sehat, serta tekanan berlebihan pada keberhasilan akademis.
Beberapa generasi Z mulai menyadari pentingnya keseimbangan hidup dan menolak hustle culture demi kesejahteraan mental. Mereka menganggap bahwa kedamaian dan kesejahteraan pribadi lebih penting daripada pencapaian finansial instan. Dengan menyadari bahayanya, generasi muda diharapkan untuk menolak standar sosial yang merugikan dan menjaga keseimbangan antara produktivitas dengan istirahat, relasi, dan kesenangan pribadi. Perubahan sudut pandang kesuksesan dari kecepatan mencapai target menjadi kepuasan jangka panjang adalah kunci untuk menciptakan hidup yang lebih bermakna.