Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan, telah mengumumkan penyaluran dana saldo anggaran lebih (SAL) senilai Rp 200 triliun ke lima bank milik negara (Himbara) dengan tujuan mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, kebijakan ini menuai pro-kontra dari berbagai pihak, termasuk dari Pengamat Intelijen, Surya Fermana, yang khawatir bahwa langkah tersebut berisiko tinggi dan berpotensi mengulang kegagalan masa lalu seperti skandal BLBI di tahun 1998.
Menurut Surya, keputusan Menkeu Purbaya mencerminkan kurangnya kehati-hatian fiskal dan berpotensi membawa Indonesia menuju krisis keuangan baru. Dia menilai bahwa penempatan dana tersebut di bank milik negara bisa menjadi risiko tinggi, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Dana sebesar Rp 200 triliun ini dapat digunakan oleh bank untuk menutupi kredit macet atau ekspansi kredit berisiko tanpa pengawasan yang memadai.
Surya juga menyoroti bahwa dengan penyaluran dana ke bank BUMN, pemerintah berpotensi memberi bantuan likuiditas yang memungkinkan bank untuk menutupi kerugian tanpa memperbaiki tata kelola atau portofolio kredit mereka. Hal ini, menurutnya, mirip dengan kejadian BLBI pada tahun 1998 yang berakibat pada kerugian besar dan tuduhan korupsi.
Dengan demikian, kebijakan yang diambil pemerintah dengan menyalurkan dana SAL sebesar Rp 200 triliun ke bank-bank milik negara dinilai membawa risiko dan perlu peninjauan yang lebih mendalam untuk menghindari dampak negatif yang mungkin terjadi di masa depan. Langkah struktural lainnya seperti memperbaiki penerimaan pajak atau mengendalikan belanja negara juga dianggap sebagai alternatif yang dapat dieksplorasi untuk menjaga stabilitas keuangan negara.