Kamis, 25 Juli 2024 – 20:50 WIB
Jakarta – Industri manufaktur nasional menempatkan Indonesia di posisi ke-12 Top Manufaktur Countries by Value Added di dunia, dengan nilai manufacturing value added (MVA) sebesar US$255 miliar.
Ekonom Universitas Brawijaya Wildan Syafitri mengungkapkan, pencapaian Indonesia jauh meninggalkan negara anggota ASEAN lainnya. Seperti Thailand dan Vietnam yang nilai MVA hanya setengah dari Indonesia, yakni masing-masing US$128 miliar, serta US$102 miliar.
“Pencapaian sektor industri manufaktur Indonesia patut diapresiasi karena ini adalah pencapaian yang positif mengingat dalam situasi krisis justru Indonesia dapat meningkatkan efisiensi industri manufaktur,” sebut Wildan di Jakarta dikutip, Kamis, 25 Juli 2024.
Dia menjabarkan bahwa dalam lima tahun terakhir data Manufacturing Value Added (MVA) Indonesia yang dirilis World Bank menunjukkan peningkatan yang signifikan. Data terbaru kinerja sektor industri manufaktur juga menunjukkan angka positif.
Sektor industri pengolahan nonmigas pada Triwulan I-2024 menjadi penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional terbesar, yaitu 17,47 persen dengan pertumbuhannya sebesar 4,64 persen dan memberikan penerimaan pajak terbesar hingga 26,9 persen.
Di sisi ekspor, nilai pengiriman produk industri pengolahan nonmigas pada semester I-2024 mencapai US$91,65 miliar atau setara 73,27 persen dari total ekspor nasional, dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 18,82 juta orang.
Selain itu, realisasi investasi sektor industri manufaktur pada periode yang sama mencapai 38,73 persen, dengan nilai Rp155,5 triliun.
Dia menjabarkan bahwa kondisi ini juga cerminan dari kekuatan industri dalam memberikan kontribusi pada perekonomian Indonesia. Serta, gambaran dari sejauh mana kekuatan industri dalam perekonomian nasional.
“Performa ini didorong selain karena Indonesia bisa memanfaatkan krisis supply chain akibat perang Rusia-Ukraina juga karena peran dari pembangunan infrastruktur, investasi serta peningkatan kemampuan SDM,” tambah Wildan.
Secara khusus Wildan memberikan perhatian posisi industri manufaktur Indonesia yang berada di atas negara-negara di ASEAN lainnya seperti Thailand yang ada pada peringkat ke-22 dan Vietnam yang ada pada peringkat ke-24. Menurutnya pencapaian ini adalah kemajuan yang signifikan akibat dari kebijakan hilirisasi industri dan kebijakan investasi yang baik.
“Jika dicermati lagi nilai tambah ini lebih banyak pada komoditi ekstraktif, dengan hilirisasi nilai tambah dari komoditi meningkat, diperkuat dengan demand terhadap komoditi strategis seperti nikel dan bahan-bahan rare earth. Indonesia bisa menggenjot lagi dari sisi inovasi industri untuk mengurangi ekspor bahan setengah jadi dan meningkatkan ekspor barang jadi,” tutur Wildan.
Wildan mengapresiasi pencapaian ini sebagai keberhasilan Kementerian Perindustrian sembari mengingatkan untuk mendorong inovasi dan R&D, kemudahan investasi, meningkatkan kualitas SDM yang memiliki keterampilan selain untuk memenuhi permintaan tenaga kerja di dalam negeri juga untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja di sektor industri.
Secara khusus Wildan juga memberikan perhatian mengenai respons Indonesia dalam menghadapi kondisi impor barang-barang murah dari China yang menyerbu Indonesia. Menurutnya impor barang murah dari China sudah lama terjadi dan China terus melakukan inovasi dan penetrasi pasar Indonesia melalui penguatan efisiensi dan skala ekonomi sehingga biaya rata rata yang rendah menyebabkan komoditi mereka semakin kompetitif.
“Industri dalam negeri perlu lebih baik beradaptasi dengan tren permintaan pasar dan regulasi pemerintah perlu menjaga industri dalam negeri dari serangan impor ini,” ungkap Wildan.
Terkait impor ini Wildan menitikberatkan pentingnya peran Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan untuk menjaga industri dalam negeri.
“Kementerian perdagangan perlu meningkatkan standarisasi produk impor untuk mencegah meningkatnya impor komoditi. Sementara Kementerian Keuangan harus melakukan kontrol pada bea masuk pada komoditi tertentu, mengurangi fasilitas kredit impor, serta tak lupa meningkatkan fasilitasi finansial untuk eksportir,” tutupnya.