Marak Pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan pekerja imbas dari tutupnya sejumlah pabrik dinilai harus dipandang sebagai persoalan serius, karena terkait dengan iklim berusaha di Indonesia. Instansi dan Kementerian harus bisa fokus memperbaiki berbagai kendala yang terjadi tersebut sehingga investasi dan masuknya modal asing bagi terciptanya lapangan kerja baru tidak terganggu. Pengamat hubungan internasional Zenzia Sianica Ihza memandang, untuk mengatasi fenomena tersebut, pemerintah perlu melakukan transformasi ekonomi jangka panjang dengan berbagai langkah strategis. Khususnya terkait perlambatan sektor industri manufaktur, yang menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. “Kita perlu kebijakan reindustrialisasi, peningkatan iklim usaha, optimalisasi hilirisasi sumber daya alam, dan mendatangkan investasi yang dapat membuka lapangan pekerjaan,” kata Zenzia dalam keterangannya di Jakarta. DIa menilai, saat ini upaya kementerain terkait menghadapi krisis PHK ini masih kurang memadai, lambat, dan belum konsisten. Hal tersebut berpotensi menghambat daya beli masyarakat. “Untuk jangka pendek pemerintah harus fokus pada upaya menjaga daya beli masyarakat. Itu bisa dilakukan dengan pemberian subsidi kepada korban PHK, menyediakan program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan agar mereka bisa bekerja di sektor lain, dan menghubungkan mereka dengan peluang kerja baru,” katanya. Berdasarkan data BPS, Zenzia menyebut, masih ada 7,47 juta orang yang menganggur dan jumlah ini dipastikan akan bertambah seiring banyaknya PHK di awal 2025 ini. Bahkan, data International Monetary Fund (IMF) menunjukkan, level pengangguran di Indonesia menempati level tertinggi di ASEAN. Per April 2024 lalu tingkat pengangguran kita mencapai 5,2 persen. “Sampai dengan akhir Februari lalu, mereka yang terkena PHK itu sudah mencapai sekitar 80 ribu orang. Tak ada cara lain untuk mengatasi ini, kecuali memperbaiki kesempatan berusaha di Indonesia sehingga mampu menciptakan lapangan kerja baru,” tandas Zenzia. Lebbih lanjut, Zenzia juga memandang, meskipun peringkat daya saing Indonesia mengalami peningkatan, sinyal positif ini belum cukup untuk menarik investor jika tantangan lain tidak dibenahi. “Memang kita berhasil naik dalam peringkat daya saing, tetapi faktor lain seperti stabilitas hukum, birokrasi yang berbelit, dan kebijakan yang sering berubah harus segera diperbaiki untuk mendorong lebih banyak investasi,” ujarnya. Zenzia pun mengaku senada dengan Pemerintah bahwa penutupan pabrik-pabrik besar seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Indonesia dan PT Yamaha Music Product Asia disebabkan oleh penurunan permintaan pasar ekspor, ketatnya persaingan global, dan strategi bisnis perusahaan yang berfokus pada efisiensi biaya. Hal lain yang tak kalah krusial menyangkut jaminan keamanan bagi investor. Menurut Zenzia, tanpa adanya jaminan yang jelas mengenai perlindungan hukum, investor akan ragu untuk menanamkan modalnya. “Keamanan investasi tidak hanya mencakup perlindungan atas aset dan hak-hak investor, tetapi juga jaminan terhadap keberlanjutan usaha yang mereka lakukan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menyediakan kerangka hukum yang kuat dan transparan, yang mampu mengurangi risiko dan ketidakpastian bagi investor,” jelasnya. Keamanan investasi, kata Zenzia, tidak hanya melindungi investor secara individu, tetapi juga mendorong peningkatan investasi asing yang pada gilirannya dapat meningkatkan lapangan pekerjaan, memperbaiki infrastruktur, dan memperkuat perekonomian nasional. Selain itu, jaminan hukum juga dapat menarik investor yang mencari kestabilan untuk merencanakan investasi jangka panjang. “Investor hanya akan menanamkan modal mereka dalam lingkungan yang stabil dan aman, di mana hak mereka dihormati dan dilindungi. Tanpa adanya kepastian hukum, investasi akan terhambat dan perekonomian akan kesulitan berkembang,” tutupnya.