Hilirisasi batu bara di Indonesia dipandang sebagai langkah strategis dalam memajukan ekonomi dan industri nasional menuju kedaulatan energi. Menurut Dewi Yustisiana, anggota Komisi XII DPR RI, ekspor batu bara Indonesia telah mencapai angka yang signifikan, dengan sebagian besar diekspor ke luar negeri. Dewi menekankan bahwa Indonesia perlu beralih dari ketergantungan pada ekspor bahan mentah menjadi lebih fokus pada pengolahan batu bara menjadi produk bernilai tinggi. Salah satu upaya prioritas dalam hilirisasi batu bara adalah mengubahnya menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai pengganti LPG impor, seperti yang telah dilakukan oleh PT Bukit Asam (PT BA) di Tanjung Enim. Selain itu, batu bara juga dapat diolah menjadi bahan baku untuk industri penting seperti metanol dan urea.
PT BA bersama PGN juga sedang mengembangkan Substitute Natural Gas (SNG) atau gas alam sintetis dari batu bara. Hal ini memungkinkan batu bara diubah menjadi bahan bakar cair seperti diesel dan bensin sintetis. Dewi juga menyoroti pentingnya diversifikasi produk hilirisasi, seperti briket, karbon aktif, dan grafit sintetis untuk mendukung berbagai industri, termasuk industri baterai kendaraan listrik yang sedang berkembang.
Untuk mendukung akselerasi hilirisasi batu bara, Kementerian ESDM terus melakukan langkah-langkah strategis dengan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal, seperti pembebasan pajak, kemudahan perizinan, dan skema off-taker untuk menjamin pasar. Dewi menegaskan bahwa hilirisasi bukan hanya untuk kepentingan ekonomi semata, tetapi juga bagian dari upaya menciptakan ekonomi yang mandiri dan berdaulat. Meskipun menghadapi beberapa tantangan, seperti kebutuhan investasi tinggi dan ketidakpastian harga pasar produk hilir, langkah ini dianggap penting untuk memperkuat industri nasional dan meningkatkan kedaulatan energi Indonesia.